KABARKLATEN.COM — (Ngawen) Selasa (18/5), Kali kedua, Komunitas Paseduluran Desa menggelar koordinasi dan silaturahmi Tim Kolaborasi Desa (Millenial Smart Farming dan Millenial Smart Garbage). Kegiatan bertempat di Balai Desa Kahuman, Ngawen, Klaten. Hadir pada acara tersebut Hapsoro, Ketua HKTI Klaten, Heri Wibawa, Pendiri Sekolah Sungai, Indi Kuswoyo, praktisi perbankan, dan Lilik Tri Jatmiko, pegiat desa. Hadir pula perwakilan Desa Tibayan (Jatinom), Mandong (Trucuk), Kahuman (Ngawen), dan Sidowayah (Polanharjo) serta beberapa mahasiswa yang tergabung dalam MPK (Mahasiswa Peduli Klaten).
Muhammad Ansori, moderator acara mengetengahkan beberapa latar belakang lahirnya komunitas Paseduluran Desa, salah satunya adalah masih banyaknya potensi yang perlu digali dari permasalahan sampah dan pertanian di desa-desa.
“Pertanian adalah mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa. Kini, petani menghadapi banyak persoalan sistemik yang membuat petani lemah tak berdaya, selain pertanian, sampah merupakan masalah yang tak kalah krusial. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Troketon, Pedan sudah nyaris tak lagi mampu menampung. Jika tidak kita pikirkan, akan berdampak buruk pada banyak aspek kehidupan,” ungkapnya.
Membuka acara koordinasi, Hapsoro, Ketua HKTI kabupaten Klaten dalam penyampaian materinya mengatakan suatu desa jika ada satu sawah yang tak tergarap, artinya ada potensi sekitar lima milyar rupiah yang terabaikan.
“Sawah memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Suatu desa jika ada satu sawah yang tak tergarap, artinya ada potensi sekitar lima milyar rupiah yang terabaikan. Belum lagi potensi sampah dan yang lainnya. Di sekitar kita banyak rupiah yang belum tergali, tetapi sayangnya, tanah kita dalam keadaan sakit. Ph tanah jauh dari normal, untuk itu kita perlu mengupayakan secara bijaksana penggunaan pupuk kimia agar tanah bisa dalam ph normal,” jelasnya.
Sementara itu, Heri Wibawa, Aktivis sampah sekaligus Pendiri Sekolah Sungai Klaten menuturkan jika bukan kita, siapa lagi yang peduli, dan jika tidak ada kepedulian dari kita maka potensi itu akan hilang. Ia juga mengisahkan perjuangannya dalam upaya mengembalikan sungai pada fungsinya. Begitu banyak penolakan yang telah dialami.
“Tentang sampah, kami melihatnya dari sungai yang begitu kotor. Ketika kami ingin terjun langsung dalam upaya membersihkan sungai, stake holder seperti tidak mendukung. Akhirnya kami terjun sendiri bersama lima ribu relawan …,” sepenggal kisah Heri.
Lilik Tri Jatmiko dalam penuturannya, hakikat pembangunan desa itu bukan dari segi infrastruktur, tapi bagaimana menyejahterakan masyarakatnya. Sustainable sosial harus terjalin dari kolaborasi dari beberapa elemen; academist, bussines, community, goverment, financial, dan media.
Bentuk integrasi dari sektor pertanian dan pengelelolaan sampah termanifestasi dari hasil usaha pengelolaan sampah, dikelola bumdes, yang nantinya bisa untuk mensupport biaya produksi pertanian. Hal ini diungkapkan oleh Indi Kuswoyo, praktisi perbankan, BNI 46 Cabang Klaten bahwa warga yg berkomitmen mengelola pertanian juga sekaligus bersinergi mengelola sampah dibukakan rekening gratis.
Setiap hasil pengelolaan sampah dikonversikan dalam bentuk rupiah dan masuk rekening pengelola. Hasil inilah yang bisa mengkaver biaya produksi partanian, sehingga hasil pertanian meningkat karena biaya produksi nol (terkaver oleh hasil pengelolaan sampah)
Perbankan (BNI 46) Cabang Klaten dalam hal ini, lanjut Indi, siap menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tani. Petani tak lagi lemah karena kredit dibayar setelah panen. (*)
No Responses