KABARKLATEN.COM_ Akhir-akhir ini sedang viral lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” yang dinyanyikan oleh banyak artis di tanah air.
Saya selaku budayawan dari Klaten, sebagai bagian dari kecintaan dan tanggung jawab terhadap nilai-nilai budaya di Indonesia umumnya dan Jawa khususnya, ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan lagu tersebut, yang mana perlu untuk diluruskan agar kedepannya menjadi lebih baik lagi.
Bahwasanya, lirik atau syair lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” terdapati beberapa kata yang mengandung pelecehan terhadap sejarah.
Untuk itu, saya memberikan masukan dan solusi atas bagian tersebut. Dan, perlu diketahui sebagai pengetahuan dalam kesatuan pandang yang utuh. Sepertinya, sebagian generasi muda dalam pemahaman literasi sejarahnya terus menjauh dari substansi.
Bahwa tokoh Joko Tingkir atau Prabu Adiwijaya raja di Pajang (Surakarta) adalah tokoh besar. Sejarah Pajang punya perspektif nasional, karena punya andil terhadap sejarah perjalanan peradaban Indonesia. Untuk itu kiranya, tokoh Joko Tingkir perlu untuk dihormati, bukan dikultuskan.
“Sekilas saya cermati bahwa lagu tersebut tidak diketahui penciptanya atau no name/NN, yaitu pada notasinya. Melodi di dalamnya seperti lagu-lagu islami lainnya, yakni lagu Ilir-ilir contohnya, dengan notasi minor ada rasa arabian-nya campur dengan nada-nada pentatonis minor Jawa.”
“Untuk liriknya adalah ciptaan kreasi seniman-seniman saat ini, seperti lirik yang dibawakan oleh banyak artis, adalah lirik yang segar untuk merepresentasikan semangat dalam bekerja mencari nafkah demi pujaannya atau istrinya, atau sebagai pengobat kekecewaan pada kekasihnya.”
“Lirik tersebut sebenarnya berasal dari kaidah sastra seperti pantun, yang mana terdiri dari empat baris atau larik, pada baris satu dan dua adalah sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi. Atau dengan format sampiran-isi-sampiran-isi. Untuk lagu ini baris kelima hanya pengulangan dari baris keempat saja. Kemudian dari keempat baris tersebut menggunakan rima, bisa berstruktur a-a-a-a, b-b-b-b, a-a-b-b, a-b-a-b.”
“Namun sangat disayangkan, dan saya bisa memahami para pencipta lirik tersebut (seniman), yang sebenarnya tidak ada motivasi apapun untuk melakukan hal pelecehan pada sejarah.”
“Kalimat: ‘Joko Tingkir ngombe dhawet,’ itu adalah sampiran, kemudian isinya ‘jo dipikir marai mumet,‘ itu adalah isi. Nah, pada kalimat ‘Joko Tingkir ngombe dhawet,’ sebaiknya diganti dengan kalimat lain yang kemudian bunyi rimanya sama. Contoh: ‘Awan-awan ngombe dhawet, Jo dipikir marai mumet,’ begitu seharusnya.”
“Mengapa demikian, Joko Tingkir atau Mas Karebet adalah nama mudanya Prabu Adiwijaya atau Sultan Adiwijaya raja di kerajaan Kesultanan Pajang (Surakarta). Berkuasa pada tahun 1550an-1582 M di Kesultanan Pajang (didefinisikan sebagai kesultanan). Joko Tingkir memindahkan Kesultanan Demak ke Pajang, dan kemudian lahir Mataram Islam hingga Mataram Anyar Solo dan Yogya.”
“Melihat peran sertanya dalam perkembangan peradaban Jawa dalam perspektif nasional, tidak sepantasnya figur Joko Tingkir digunakan sebagai lirik lagu yang derajatnya tidak pas untuk seorang raja besar dengan guyonan atau bercandaan dengan meminum minuman dawet/cendol. Selain itu, penggunaan bahasa Jawa yang bertingkat, seperti jawa ngoko, krama alus atau krama inggil, kata “ngombe” tidak pas digunakan kepada seseorang yang lebih tua, terlebih raja. Seharusnya bahasa “ngombe” atau minum kepada orang yang lebih tua dengan kata “ngunjuk“. Harusnya menjadi; Joko Tingkir ngunjuk dawet.”
“Meskipun telah diubah dengan kalimat ‘Joko Tingkir ngujuk dhawet‘ pun, itu tetap kurang pas, mengingat seorang raja yang harusnya dihormati terlebih sudah menjadi bagian penting dari peradaban jawa, juga bisa dimaknai sebagai pemimpin spiritual, tidak pantas digunakan sebagai bahan guyonan atau candaan. Berbeda kalau bedah sejarah mengenai keburukan sang raja dari sisi ilmu pengetahuan sejarah, itu sudah lain lagi.”
“Dengan demikian, itu termasuk pelecehan sejarah, dan dari sisi diksi penggunaan dan pemilihan kata bahasa jawa juga kurang tepat. Saran saya, kalimat Joko Tingkir diubah menjadi ‘awan-awan‘. Jadinya, ‘Joko Tingkir ngombe dhawet,’ menjadi ‘Awan-awan ngombe dhawet.’ Jadi ketika kita melagukan terasa ‘loss’ tidak ragu-ragu atau risih, tetapi kalau masih dengan kalimat ‘Joko Tingkir ngombe dhawet,’ hati ini, perasaan ini tidak tega, tidak enak. Yang mana ini soal adab, etika atau attitude. Dan bukan pula ini bermaksud feodal.”
“Dengan demikian, maksud melucu, membuat viral, membuat heboh, itu boleh-boleh saja, tetapi aneka perspektif dan dimensi semua unsur harus dalam satu kesatuan pandang, hingga tidak ada ‘hal’ yang absurd, berisi pelecehan, dsb.”
Oleh: Bhre Ari Koeswanto Abdurrahman Suryo Mataram | Budayawan asal Klaten, Jawa Tengah
Demikian pendapat saya dalam siaran pers ini.
Terima kasih, salam budaya.
No Responses